RESOLUSI SWASEMBADA DAGING DAN SUSU MELALUI OPTIMALISASI REPRODUKSI dan PERBIBITAN - BBPP BATU

RESOLUSI SWASEMBADA DAGING DAN SUSU MELALUI OPTIMALISASI REPRODUKSI dan PERBIBITAN

RESOLUSI SWASEMBADA DAGING DAN SUSU
MELALUI OPTIMALISASI REPRODUKSI dan PERBIBITAN
Oleh : Heru Nurwanto

Swasembada daging dan susu yang bersumber dari ruminansia memang tidak akan lepas dari peningkatan dan percepatan populasi ternak. Kebijakan peternakan yang berorientasi pada pengadaan ternak perlu di evaluasi kembali, untuk di fokuskan pada kebijakan reproduksi dan perbibitan sehingga dapat mendorong pertumbuhan bibit dan bakalan ternak. Kebijakan pelarangan pemotongan induk produktif di ikuti dengan kebijakan penguatkan instrument reproduksi, di dukung dengan kebijakan penguatan kualitas dan kuantitas pakan, dan menejemen pemeliharaan yang tepat, akan mendorong percepatan populasi ternak yang sehat.
Keberhasilan bidang reproduksi dapat di evaluasi melalui performa reproduksi (reproduction performance) yang meliputi beberapa aspek, yaitu : service per conception, conception rate, pregnancy rate, calving rate, estrous post partum dan calving interval. Indikator tersebut tentunya tidak dapat lepas dari factor status kesehatan dan reproduksi ternak, pengetahuan dan pengalaman peternak dalam mengidentifikasi status reproduksi ternaknya, factor petugas yang mendampingi peternak, dan instrument reproduksi lainnya.
Menurut penelitian Drh. Surya Agus Prihatno, MP pada sapi perah di Daerah Istimewa Yogyakarta, calving interval mencapai 19 bulan yang semestinya 12-14 bulan. Sementara gangguan reproduksi fungsional pada sapi perah di Daerah Istimewa Yogyakarta masih cukup tinggi, beberapa di antaranya : silent heat mencapai angka 18 %, hypofungsi ovaria 21 %, endometritis ringan 5 %, serta kista folikuller 9 %. Kondisi ini setelah di konfrotir ke beberapa KUD di wilayah Malang menunjukan angka yang tidak jauh beda, sehingga perlu penanganan yang lebih serius terhadap kasus dan gangguan reproduksi.
Dari hasil observasi, kasus reproduksi yang sering terjadi dilapangan pada umumnya ditandai dengan anestrus (birahi tidak tampak gejalanya) dan kawin berulang. Kawin berulang merupakan salah satu problem utama. Kawin berulang adalah suatu keadaan sapi betina yang mengalami kegagalan untuk bunting setelah dikawinkan 3 kali atau lebih, tanpa adanya abnormalitas yang teramati. Hal ini disebabkan endometritis sub klinis, sista folikuler, delayed ovulation, silent heat, subestrus dan lameness.
Pengetahuan dan pengalaman peternak dalam mengelola peternakan menjadi factor penting terhadap kesehatan reproduksi. Konstruksi kandang sampai dengan kebersihan kandang sangat mempengaruhi status reproduksi ternak. Bakteri, jamur, dan organisme mikro lainnya tumbuh subur dalam kondisi kandang yang kotor, becek, dan tidak terawat, sehingga jika sapi hidup dalam lingkungan ini dapat di mungkinkan rentan terinfeksi, sehingga muncul penyakit reproduksi seperti endometritis. Kasus ini sering terjadi pada sapi post partus, karena pada saat itu cervick membuka sampai mengalami proses envolusi selesai, sehingga uterus sangat rentan kemasukan kuman dari lingkungan sapi.
Dari hasil penelitian Drh. Surya Agus Prihatno, MP terhadap uterus sapi yang mengalami kawin berulang, menunjukkan adanya jamur Aspergillus fumigatus (60 %). Kemudian, penelitian yang terbaru menunjukan bahwa sapi yang mengalami kawin berulang mengandung bakteri lebih banyak ketimbang sapi yang fertil (62,5 % berbanding 28.6 %). Penelitian Agus menunjukkan adanya beberapa bakteri, seperti : Strepthococus 10 %, Staphylococcus 40 %, Bacillus 50 %, dan E. coli 20 %.
Pengaruh pakan terhadap Reproduksi
Pada sisi lain, kualitas dan kuantitas pakan menjadi titik kritis kesehatan dan reproduksi ternak. Asupan pakan yang cukup akan mendukung fungsi anatomis dan fisiologis ternak terjamin. Dari hasil pengamatan sapi rakyat oleh Drh. Agung bahwa faktor nutrisi merupakan faktor yang kritis, yang memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap fenomena reproduksi dibanding faktor lainnya. Nutrisi yang cukup dapat mendorong proses biologis untuk mencapai potensi genetiknya, mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan yang tidak nyaman dan meminimalkan pengaruh-pengaruh dari teknik manajemen yang kurang baik. Nutrisi yang kurang baik tidak hanya akan mengurangi performans dibawah potensi genetiknya, tetapi juga memperbesar pengaruh negatif dari lingkungan.
Kondisi kurangnya pakan –baik kualitas maupun kuantitasnya, merupakan salah satu penyebab menurunnya efisiensi reproduksi dan gangguan reproduksi yang menyebabkan timbulnya gangguan reproduksi hingga kemajiran pada ternak betina. Apabila didapati sapi umur 13 bulan tidak memperlihatkan tanda-tanda birahi untuk pertama kalinya, perlu dilakukan pemeriksaan, untuk mengetahui kondisi ovariumnya dan dilakukan penanganan untuk memperbaiki fertilitasnya (baca : kondisi kesuburannya) sebelum terlambat –sehingga menjadi majir atau infertil.
Paradigma Inseminasi Buatan
Penggunaan inseminasi buatan telah digunakan secara luas di seluruh Indonesia guna memacu peningkatan populasi dan mutu sapi. Namum sayangnya, keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan masih sangat rendah. Menurut penelitian Agus, angka servis per konsepsi masih berada di atas 5 (diperlukan lebih dari 5 kali IB untuk menghasilkan kebuntingan). Untuk mengurangi kegagalan IB, maka petugas IB harus memastikan agar IB yang mereka lakukan sesuai Standart Operasional Prosedure (SOP) dan tidak menyertakan kuman masuk ke dalam saluran reproduksi ternak.

Paternak sebagai pamong sapi harus mengerti betul perubahan perubahan fisiologis dan tingkah laku ternaknya saat birahi. Deteksi birahi yang di tandai dengan 3A, 2B, 2C, keluar lender, harus di fahami betul oleh peternak. Deteksi estrus pada sapi di tingkat petani cukup bervariasi tetapi pada umumnya rendah, ini dikarenakan durasi estrus ternak yang pendek dan intensitas perilaku estrus yang rendah (gejala estrus yang tidak jelas). Kesalahan deteksi estrus menjadi salah satu penyebab kegagalan IB.
Inseminator sebagai eksekutor IB, harus dapat melakukan IB pada saat yang tepat agar terjadi kebuntingan. Perkawinan yang terlalu cepat atau awal menyebabkan penuaan spermatozoa sehingga spermatozoa tidak mampu membuahi ovum. Hasil penelitian Drh. Surya Agus Prihatno, MP menunjukan bahwa perkawinan yang terlalu cepat (3-4 jam) akan meningkatkan 4.41 kali kejadian kawin berulang. Sebaliknya, perkawinan yang terlambat menyebabkan ovum mengalami penuaan sehingga terjadi kegagalan fertilisasi.
Waktu yang optimal untuk inseminasi pada sapi adalah 4 sampai 12 jam setelah estrus teramati, ini mempertimbangkan waktu ovulasi pada sapi umumnya terjadi 24-28 jam setelah timbul estrus, kemampuan hidup spermatozoa yang fertil adalah 24-30 jam, serta kemampuan hidup dari oosit yang berovulasi hanya 6-12 jam. Dalam rumus yang sederhana, jika sapi birahi pagi hari maka sapi dikawinkan pada sore hari, jika sapi birahi pada sore atau malam hari maka sapi dikawinkan pada keesokan hari.
Namun, menurut penelitian Drh. Agung Budiyanto, dalam beberapa kondisi rumus sederhana ini sudah tidak dapat digunakan. Pasalnya, kata Agung, telah terjadi delayed ovulation (baca : ovulasi tertunda), sehingga sperma akan mati sebelum oosit diovulasikan dan fertilisasi sebagai prasyarat kebuntingan tidak terjadi.
Data penelitian Drh. Agung Budiyanto menyebutkan, setidaknya 82% sapi Simpo (persilangan antara Simental dan PO) dan 84% sapi Limpo (persilangan antara Limousine dan PO) dan 5% populasi sapi telah mengalami delayed ovulation. Menurut Agung, slogan “sapi estrus sore dikawinkan pagi hari dan sapi estrus pagi dikawinkan sore hari” hanya berlaku untuk sapi PO. Untuk sapi Simpo dan Limpo, IB perlu ditunda dulu karena birahi panjang akan menyebabkan ovulasi yang terjadi di akhir dari masa estrus juga akan mengalami penundaan. Sehingga sperma yang dimasukkan tidak terlalu lama menunggu dan mati sebelum ketemu sel telur.
Agung menambahkan, di Indonesia –khususnya di Jawa, peternak suka dengan crossbreed (persilangan) yang dikenal dengan Simpo dan Limpo. Anak yang dihasilkan sangat bagus, karena sebagian sifat pejantan Simmental dan Limousine dominan diturunkan pada anaknya, badan yang besar, pertumbuhan yang cepat menyebabkan harga melambung melebihi sapi PO. Menurut Agung, seiring dengan maraknya crossbreed yang tidak terkendali sampai F3 dan F4 maka performan reproduksinya berubah, yang paling umum ditemui adalah adanya kesulitan kebuntingan ketika perkawinan –terutama pada F2. Hal ini menjadi masalah namun crosbreed terus saja berlangsung. Sebuah survey sederhana di Kulon Progo memperlihatkan, komposisi populasi sapi Simpo, Limpo dan PO di masyarakat saat ini masing-masing sebesar 72%, 20% dan 8%.
Kontrol reproduksi
Kontrol reproduksi secara disiplin dan teratur sangat diperlukan. Terutama pada titik kritis sebagai berikut : 1. Sapi dara yang telah mencapai usia 14 bulan tetapi belum berahi; 2. penanganan retensi plasenta tidak lebih dari 24-72 jam pasca beranak; 3. Pada hari ke 30 pasca beranak harus diperiksa kondisi saluran reproduksi; 4. Saat ditemukan abnormalitas leleran dari vulva seperti terlihat keruh, berbau, dan kehijauan; 5. Ketika tidak terjadi estrus dalam waktu 45 – 60 hari post partum; 6. Pada kasus abortus –diagnosis awal dan terapi cepat akan mengurangi kerugian peternak; pada sapi-sapi yang mepunyai siklus estrus yang abnormal, dan pemeriksaan sapi-sapi yang mengalami kawin berulang; 7serta pemeriksaan kebuntingan setelah 45 – 60 hari perkawinan.

Ada Apa dengan Divisi Reproduksi dan Perbibitan BBPP Batu ??
Masalah reproduksi dan perbibitan ternak sedemikian kompleks, dan menjadi kunci peningkatan populasi ternak untuk swasembada daging-susu. Titik kritis keberhasilan reproduksi tentunya berada pada factor petugas pendamping peternak, penyuluh, petugas IB/PKB/ATR, yang secara langsung membidangi reproduksi. Petugas Inseminasi Buatan “Inseminator”, selain harus memberikan penyuluhan baik secara langsung mapun tidak langsung, missal pada saat meberikan pelayanan, sembari memberi pemahaman tentang deteksi birahi sapi. Sudah selayaknya pula seorang inseminator segera meningkatkan ilmu, pengetahuan dan pengalaman nya untuk memperdalam reproduksi melalui diklat Pemeriksaan kebuntingan dan penyakit dan gangguan reproduksi.
Berkaitan dengan hal tersebut maka Devisi Reproduksi dan Perbibitan Ternak membuka kesempatan kepada Calon inseminator untuk menjadi inseminator yang professional, dan bagi petugas IB dapat meningkatkan ilmu dan pengetahuannya melalui dikat Pemeriksaan Kebuntingan dan Asisten Teknis Reproduksi.
Kurikulum telah di susun, selengkap mungkin untuk menjawab permasalahan-permasalahan reproduksi di atas dengan biaya diklat yang terjangkau, sebagai berikut:

Diklat IB selama 21 hari, di fokuskan pada teknik mendisposisikan semen pada Cervic 4 secara tepat sesuai SOP untuk menjamin fertilisasi dalam oviduck, dengan biaya Rp. 6.300.00,00. Rencana di laksanakan pada Bulan Maret, Mei 2014
Diklat Pemeriksaan kebuntingan selama 14 hari, di fokuskan pada teknik memeriksa kebuntingan pasaca IB/kawin, sekaligus mendiagnosa umur kebuntingan, sehingga dapat di hindarkan abortus akibat deferensiasi deteksi estrus, dengan biaya Rp. 5.250.00,00.

Rencana dilaksnakan pada Bulan Februari, April 2013

Diklat Asisten teknis Reproduksi selama 14 hari, di fokuskan pada diagnose penyakit reproduksi dan gangguan reproduksi pada ternak, kebidanan, dan kemajiran. Peserta yang lulus mendapatkan sertifikat yang di keluarkan oleh Kementrian pertanian dan BBPP Batu, beserta transkrip nilai sesuai dengan kopetensinya, dengan biaya Rp. 5.250.000,00, Rencana di laksanakan pada Bulan Februari, April, Mei 2013.
Kebidanan, Penyakit dan gangguan reproduksi, kurikulum menyesuaikan dengan kebutuhan peserta, dengan biaya Rp. 350.000,00 per hari, pelaksanaan menyesuaikan kebutuhan peserta/daerah.

Untuk mendukung Kegiatan kediklatan Reproduksi dan Perbibitan, maka Divisi telah memiliki fasilitas:
Persyaratan dan fasilitas Peserta dapat di konsultasikan pada SatLak Divisi Reproduksi dan Perbibitan. Bagi Individu, Dinas dan Instansi yang berkenan berdiskusi, konsultasi serta menjalin kerjasama diklat bidang reproduksi dan perbibitan, dapat menghubungi :
DIVISI REPRODUKSI DAN PERBIBITAN BBPP Batu
Jl. Songgoriti. No. 24 Kotak Pos 17 – Batu 65301
Telp. (0341) 591302 – Fax. [0341] 597032, 590288, 599796
CP:

Anjar Lesmana, A.Md (Kasie Projas BBPP Batu) : 085233126144

Udik Sulijanto (Ket. Div. Reproduksi dan Perbibitan) : 081 334 201 108

Heru Nurwanto

(Satlak Div. Reproduksi dan Perbibitan) : 081 328 823 444,
E-mail: heru_n229_2000@yahoo.com

Daftar Pustaka:

Al aubaidi, JM. 1972. Boviseminal vesiculitis and epididmis causidby microplasma bovigenitalium cornell, vet. AAUCS, Australia
Anonimous. 2008. http://nurheti2.blogspot.com/2008/06/hati-hati-kekurangan-pangan-pada-hewan.html
Anonimous. 2009. http://www.i_elisa.ugm.ac.id/index.php?app=common&cat=komunitas_home&komunitas_id=18
Hardjopranjoto, S., 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya
Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger. Philadelfia.
Nalbandov, A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. UI- Press
Salisbury, G.W. and N.L. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi.
Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Institut Pertanian Bogor.

      

Comments are closed.